KONTROVERSI UJIAN NASIONAL (UN)
“STANDAR KELULUSAN, PEMETAAN ATAU PROYEK”
Oleh;
EKA OCTA
NUGRAHA
Hasil
Ujian Nasional (UN) tidak identik dengan kualitas pendidikan di Tanah Air.
Terlebih dengan adanya indikasi kebocoran dan kecurangan dalam pelaksanaan UN. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
pemetaan sebaiknya tidak dilakukan tiap tahun, hasilnya tidak perlu direkayasa,
dan meliputi semua mata pelajaran. Selain itu, biaya yang dikeluarkan
pemerintah tiap tahun untuk penyelenggaraan UN tidaklah sedikit.
Tahun
2004, Depdiknas melalui RAPBN mengajukan anggaran untuk UN sebesar RP. 500 Miliar rupiah kepada DPR (
Kompas, 12/3 ). Tapi, apakah benar dengan biaya
sebesar itu akan meningkatkan mutu pendidikan ? jangan-jangan UN hanya akan menjadi sebuah proyek untuk
memperkaya elite politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sekolah yang ingin
anak didiknya “diperhatikan” dan diberi “kemudahan” harus pintar-pintar membuat
koneksi dengan para birokrat pendidikan, dan tentu saja hal ini akan membuat
pundi-pundi rupiah mereka kian melambung. Sehingga permasalahan yang di bahas dalam makalah ini
adalah “ Apakah Ujian Nasional (UN) merupakan
pemetaan, kelulusan, atau proyek dalam dunia Pendidikan di Indonesia? “.
Saat ini Ujian
Nasional sering dimanfaatkan untuk kepentingan diluar pendidikan, seperti
kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan
ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam
pelaksanaannya banyak ditemukan kasus kebocoran soal, nyontek yang
sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa dan bentuk-bentuk
kecurangan lainnya. Bisa kita lihat dari kualitas pendidikan kita yang
hanya diukur berdasarkan hasil kelulusan UN saja. Bagaimana jadinya bangsa ini,
jika kualitas sumber daya manusia Indonesia hanya dilihat dari hasil UN saja.
Ujian Nasional
biasa disingkat UN / UNAS adalah sistem evaluasi
standar pendidikan
dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah
yang dilakukan oleh Pusat Penilaian
Pendidikan, Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003
menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional
dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas
penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai
pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut
harus dilakukan secara berkesinambungan.
Adapun
tujuan dan fungsi ujian nasional adalah
sebagai berikut:
v Tujuan Ujian Nasional
a)
Ujian
Nasional dimaksudkan untuk mengetahui hasil belajar siswa dan
untuk
memperoleh keterangan mengenai mutu pendidikan.
b)
Tujuan Ujian
Nasional untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara
nasional pada mata pelajaran
tertentu dalam kelompok mata pelajaran
IPTEK.
v Fungsi Ujian
Nasional
a)
Pemetaan
mutu program dan / atau satuan pendidikan.
b)
Dasar
seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
c)
Penentu
kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan
d)
Dasar
pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam
upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Pada
kenyataanya dengan diselenggarakanya UN, sekolah mengalami kesulitan dalam menentukan
kelulusan sebab sampai saat ini belum ada kejelasan apakah UN untuk menentukan
kelulusan atau pemetaan atau bahkan hanya proyek semata. Pasal 68 Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
menyebutkan: Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan
untuk: (a) Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; tetapi dalam butir
(c) disebutkan: untuk penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/satuan
pendidikan.
Kecuali
itu, dalam PP No 19/2005 tidak disebutkan secara tegas siapa yang menentukan
kelulusan. Pasal 72 menyebutkan, (1) Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan
pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: a. menyelesaikan seluruh
program pembelajaran; b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir
seluruh mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran
kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok
mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan; c. lulus ujian sekolah/madrasah
untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dan d. lulus
Ujian Nasional.
Seharusnya
ada kejelasan porsi kewenangan. Artinya, ada persentase yang jelas, berapa
persen wewenang yang diberikan kepada sekolah untuk meluluskan siswanya dan
berapa persen nilai UN. Sejauh ini kelulusan siswa ditentukan oleh nilai UN.
Pemerintah menetapkan standar kelulusan berdasar capaian nilai minimal UN tanpa
memerhatikan prestasi siswa selama proses belajar mengajar di sekolah. Jika
hasil UN digunakan untuk pemetaan, hasil UN harus dijadikan pijakan bagi
pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan
pendidikan guna meningkatkan mutu pendidikan. Ini penting agar tidak terjadi
kesalahan dalam memberikan bantuan. Sayangnya, hal ini tidak dilakukan. Yang
terjadi, hasil UN hanya dicatat, sekolah mana yang mendapat nilai tertinggi
untuk kelompok IPS, IPA, dan Bahasa, diberi peringkat, dan setelah itu
dipublikasikan.
Kontroversi
mengenai pelaksanaan Ujian Nasional (UN) sudah terjadi sejak tahun pelajaran 2003.
Pada tahun tersebut banyak pihak merasakan penyimpangan dari pelaksanaan UN
antara lain: (1) Bahwa yang dinilai dalam Ujuan Nasional hanya aspek kognitif peserta didik, padahal dalam kependidikan,
kemampuan peserta didik meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik; (2) Penentuan standar pendidikan dilakukan secara sepihak oleh
pemerintah. Hal ini tentunya merampas hak guru dalam melakukan penilaian; (3) Ujuan
Nasional mengabaikan unsur penilaian
proses. Dan penyimpangan (4) yaitu Ujian Nasional memberikan beban sosial dan
psikologis kepada siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang di
UN-kan. Padahal tujuan pembelajaran adalah untuk membangun pemahaman siswa, bukannya
malah menghafal pelajaran. Walaupun pada dua tahun pelajaran terakhir
penyimpangan-penyimpangan di atas sudah diminimalisir, tapi tetap saja para
pendidik dan siswa belum bisa bernafas lega. Memang penilaian oleh guru selama
proses pendidikan berlangsung sudah ikut dipertimbangkan, namun proporsinya
masih kecil, Sedangkan UN yang standarnya masih ditentukan oleh pemerintah
pusat. Ini suatu beban psikologis juga bagi siswa.
Pelaksanaan
UN sebenarnya bertentangan dengan tujuan pendidikan yang mana tujuan pendidikan
adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman,
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (UU Sisdiknas pasal 33).
Tujuan pelaksanaan Ujian nasional
(UN) yang pada hakikatnya adalah untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, ternyata telah beralih fungsi menjadi sarana
untuk melatih kecurangan di dunia pendidikan. Sejak ada penentuan kelulusan
secara nasional terjadi ketakutan pada diri siswa, guru, kepala sekolah bahkan
kepala dinas. Berbagai upaua untuk merekayasa nilai dan memutar strategi agar
siswa bisa lulus sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam pelaksanaan UN banyak terjadi
kecurangan, siswa merasa tidak malu atau
takut untuk melakukan aksi saling mecontek
jawaban, membantu teman yang tidak bisa mengerjakan soal UN dengan dalih solidaritas
teman. Yang lebih menyedihkan adalah seorang guru terpaksa mengatur
tempat duduk saat UN, bahkan memberikan kunci jawaban UN kepada siswanya. Hal ini
di lakukan dengan alasan seorang guru tidak ingin melihat siswanya tidak lulus sekolah hanya karena
terganjal hasil UN walaupun harus mengesampingkan proses pembelajaran yang telah ditempuh siswa
selama tiga tahun.
Kepala sekolah juga tidak ingin disalahkan atau di anggap gagal oleh atasanya jika siswa disekolah tempatnya bertugas banyak yang tidak lulus dalam ujuan nasional. Kemudian kepala sekolah membuat strategi tempat duduk siswa untuk memudahkan saling mencontek, juga mengijinkan gurunya untuk memberi contekan kepada siswanya. Bahkan dalam rapat pengawas UN, kepala sekolah berpesan kepada pengawas UN agar membiarkan siswa yang mencontek asal tidak ribut. Hal ini merupakan salah satu contoh korban dari kebijakan pemerintah pusat.
Kepala sekolah juga tidak ingin disalahkan atau di anggap gagal oleh atasanya jika siswa disekolah tempatnya bertugas banyak yang tidak lulus dalam ujuan nasional. Kemudian kepala sekolah membuat strategi tempat duduk siswa untuk memudahkan saling mencontek, juga mengijinkan gurunya untuk memberi contekan kepada siswanya. Bahkan dalam rapat pengawas UN, kepala sekolah berpesan kepada pengawas UN agar membiarkan siswa yang mencontek asal tidak ribut. Hal ini merupakan salah satu contoh korban dari kebijakan pemerintah pusat.
Dengan berlaku kecurang di sekolah yang
dilakukan oleh siswa, guru , kepala
sekolah, saat pelaksanaan UN secara tidak langsung bahwa sekolah yang
seharusnya sebagai lembaga pendidikan, justru telah mengajarkan pada siswanya
menjadi seorang pembohong dan korupsi, yang dengan tidak seganya melakukan segala cara untuk mencapai tujuan. Apabila hal
ini dibiarkan terus menerus, maka akan terbentuk suatu generasi muda Indonesia yang dipenuhi dengan manusia-manusia
pembohong, korup dan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Kebijaksanaan
UN dalam pendidikan harus segera
direvisi secepatnya jika tidak ingin mental generasi penerus rusak akibat UN
dan bertentangan dengan pembelajaran berkarakter yang dikoar-koarkan sekarang.
Pemerintah harus membenahi kembali UN yang dilakukan.
Meningkatkan mutu
pendidikan tidak bisa melalui UN, tetapi harus dengan langkah-langkah sebagai
berikut : Pertama, kita harus memahami essensi pendidikan. Belajar bukan
sekedar menyiapkan diri menghadapi ujian, tetapi bagaimana mengembangkan
kemampuan diri menghadapi kehidupan. Kedua, dibutuhkan komitmen pemerintah
dalam mengelola pendidikan.implikasinya, membebaskan pendidikan dari kungkungan
elite politik yang hendak memanfaatkan pendidikan untuk memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan, dan yang menjadikan UN sebagai proyek untuk
memperkaya diri. Ketiga, memaksimalkan partisipasi pelaku pendidikan dalam
menghasilkan peraturan dan kebijakan pendidikan. Tanpa peran mereka, tidak
mungkin pendidikan dapat menghasilkan subyek atau aktor sosial sebagai kunci
perubahan sosial. Sampai kapanpun, pendidikan hanya akan menjadi pemelihara
status quo dalam masyarakat, perubahan sosial tidak mungkin terjadi secara
signifikan, keadilan sosial yang menjadi cita-cita nasional pun tetap berada
dalam dunia mimpi.
Dan tidak terlepas pula yang sudah
dibahas di atas bahwa semuanya harus dikembalikan ke pribadi pemangku
kepentingan, apakah mereka berniat untuk benar-benar berguna bagi negara atau
sekedar mencari keuntungan ditengah kondisi pendidikan bangsa ini. Jika semua
pemangku kepentingan memiliki rasa kejujuran dan keinginan untuk memajukan
bangsa, tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan bisa bersifat tegas
terhadap hal-hal yang dapat merugikan sistem pendidikan kita, niscaya
pendidikan yang berkualitas akan dimiliki oleh bangsa ini. Mulai dari pejabat
pusat dan sampai guru yang bersentuhan langsung dengan siswa, harus memiliki
komitmen yang sama dalam memajukan pendidikan bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar
Nasional Pendidikan (2005).
Prosedur Operasi Standar
(POS) Ujian Nasional. Jakarta:
Badan Standar Nasional Pendidikan.
Departemen
pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: balai pustaka, 1993)
Kompas.com/read/2012/11/26/09091819/Ujian.Nasional.Seharusnya.Hanya.untuk Pemetaan
Undang Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Jakarta: Depdiknas.
Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan. Yakarta : Rineka Cipta.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, tentang
Standar Nasioanal
Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
http://sim.ormawa.uns.ac.id/2012/12/01/masalah-pendidikan-di-indonesia/
http://wdnoegroho.wordpress.com/2012/11/30/dampak-ujian-nasional-terhadap- siswa-guru-dan-sekolah/ (diakses pada tanggal
18 Desember 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar