Selasa, 16 April 2013

KONTROVERSI UJIAN NASIONAL (UN)


 KONTROVERSI UJIAN NASIONAL (UN)
“STANDAR KELULUSAN, PEMETAAN ATAU PROYEK”
Oleh;
EKA OCTA NUGRAHA
            Hasil Ujian Nasional (UN) tidak identik dengan kualitas pendidikan di Tanah Air. Terlebih dengan adanya indikasi kebocoran dan kecurangan dalam pelaksanaan UN.  Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemetaan sebaiknya tidak dilakukan tiap tahun, hasilnya tidak perlu direkayasa, dan meliputi semua mata pelajaran. Selain itu, biaya yang dikeluarkan pemerintah tiap tahun untuk penyelenggaraan UN tidaklah sedikit.
            Tahun 2004, Depdiknas melalui RAPBN mengajukan anggaran untuk UN  sebesar RP. 500 Miliar rupiah kepada DPR ( Kompas, 12/3 ). Tapi, apakah benar dengan biaya sebesar itu akan meningkatkan mutu pendidikan ? jangan-jangan UN hanya akan menjadi sebuah proyek untuk memperkaya elite politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sekolah yang ingin anak didiknya “diperhatikan” dan diberi “kemudahan” harus pintar-pintar membuat koneksi dengan para birokrat pendidikan, dan tentu saja hal ini akan membuat pundi-pundi rupiah mereka kian melambung. Sehingga  permasalahan yang di bahas dalam makalah ini adalah “ Apakah Ujian Nasional (UN) merupakan pemetaan, kelulusan, atau proyek dalam dunia Pendidikan di Indonesia? “.
Saat ini Ujian Nasional sering dimanfaatkan untuk kepentingan diluar pendidikan, seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kasus kebocoran soal, nyontek yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya. Bisa kita lihat dari kualitas pendidikan kita yang hanya diukur berdasarkan hasil kelulusan UN saja. Bagaimana jadinya bangsa ini, jika kualitas sumber daya manusia Indonesia hanya dilihat dari hasil UN saja.
      Ujian Nasional biasa disingkat UN / UNAS adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan.
            Adapun tujuan dan fungsi ujian nasional adalah sebagai berikut:
v Tujuan Ujian Nasional
a)    Ujian Nasional dimaksudkan untuk mengetahui hasil belajar siswa dan
     untuk memperoleh keterangan mengenai mutu pendidikan.
b)   Tujuan Ujian Nasional untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara
     nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran
     IPTEK.
v Fungsi Ujian Nasional
a)    Pemetaan mutu program dan / atau satuan pendidikan.
b)   Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
c)    Penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan
d)   Dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam
     upaya meningkatkan mutu pendidikan.
                        Pada kenyataanya dengan diselenggarakanya UN, sekolah mengalami kesulitan dalam menentukan kelulusan sebab sampai saat ini belum ada kejelasan apakah UN untuk menentukan kelulusan atau pemetaan atau bahkan hanya proyek semata. Pasal 68 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan: Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: (a) Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; tetapi dalam butir (c) disebutkan: untuk penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/satuan pendidikan.
            Kecuali itu, dalam PP No 19/2005 tidak disebutkan secara tegas siapa yang menentukan kelulusan. Pasal 72 menyebutkan, (1) Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran; b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir seluruh mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan; c. lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dan d. lulus Ujian Nasional.
            Seharusnya ada kejelasan porsi kewenangan. Artinya, ada persentase yang jelas, berapa persen wewenang yang diberikan kepada sekolah untuk meluluskan siswanya dan berapa persen nilai UN. Sejauh ini kelulusan siswa ditentukan oleh nilai UN. Pemerintah menetapkan standar kelulusan berdasar capaian nilai minimal UN tanpa memerhatikan prestasi siswa selama proses belajar mengajar di sekolah. Jika hasil UN digunakan untuk pemetaan, hasil UN harus dijadikan pijakan bagi pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan guna meningkatkan mutu pendidikan. Ini penting agar tidak terjadi kesalahan dalam memberikan bantuan. Sayangnya, hal ini tidak dilakukan. Yang terjadi, hasil UN hanya dicatat, sekolah mana yang mendapat nilai tertinggi untuk kelompok IPS, IPA, dan Bahasa, diberi peringkat, dan setelah itu dipublikasikan.
            Kontroversi mengenai pelaksanaan Ujian Nasional (UN) sudah terjadi sejak tahun pelajaran 2003. Pada tahun tersebut banyak pihak merasakan penyimpangan dari pelaksanaan UN antara lain: (1) Bahwa yang dinilai dalam Ujuan Nasional hanya aspek kognitif  peserta didik, padahal dalam kependidikan, kemampuan peserta didik meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik; (2) Penentuan standar pendidikan dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Hal ini tentunya merampas hak guru dalam melakukan penilaian; (3) Ujuan Nasional  mengabaikan unsur penilaian proses. Dan penyimpangan (4) yaitu Ujian Nasional memberikan beban sosial dan psikologis kepada siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang di UN-kan. Padahal tujuan pembelajaran adalah untuk membangun pemahaman siswa, bukannya malah menghafal pelajaran. Walaupun pada dua tahun pelajaran terakhir penyimpangan-penyimpangan di atas sudah diminimalisir, tapi tetap saja para pendidik dan siswa belum bisa bernafas lega. Memang penilaian oleh guru selama proses pendidikan berlangsung sudah ikut dipertimbangkan, namun proporsinya masih kecil, Sedangkan UN yang standarnya masih ditentukan oleh pemerintah pusat. Ini suatu beban psikologis juga bagi siswa.
            Pelaksanaan UN sebenarnya bertentangan dengan tujuan pendidikan yang mana tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas pasal 33).
            Tujuan pelaksanaan Ujian nasional (UN) yang pada hakikatnya adalah  untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia,  ternyata telah beralih fungsi menjadi sarana untuk melatih kecurangan di dunia pendidikan. Sejak ada penentuan kelulusan secara nasional terjadi ketakutan pada diri siswa, guru, kepala sekolah bahkan kepala dinas.  Berbagai upaua untuk  merekayasa nilai dan memutar strategi agar siswa bisa lulus sesuai dengan yang diharapkan.
            Dalam  pelaksanaan UN banyak terjadi kecurangan,  siswa merasa tidak malu atau takut untuk melakukan  aksi saling mecontek jawaban, membantu teman yang tidak bisa mengerjakan soal UN dengan dalih solidaritas teman.  Yang lebih menyedihkan adalah seorang guru terpaksa mengatur tempat duduk saat UN, bahkan memberikan kunci jawaban UN kepada siswanya. Hal ini di lakukan dengan alasan seorang guru  tidak ingin melihat  siswanya tidak lulus sekolah hanya karena terganjal hasil UN walaupun harus mengesampingkan  proses pembelajaran yang telah ditempuh siswa selama tiga tahun.  
            Kepala sekolah juga tidak ingin disalahkan atau di anggap gagal oleh atasanya jika siswa disekolah tempatnya bertugas  banyak yang tidak lulus dalam ujuan nasional. Kemudian kepala sekolah membuat strategi tempat duduk siswa untuk memudahkan saling mencontek, juga mengijinkan gurunya untuk memberi contekan kepada siswanya. Bahkan dalam rapat pengawas UN, kepala sekolah berpesan kepada pengawas UN agar membiarkan siswa yang mencontek asal tidak ribut. Hal ini merupakan salah satu contoh korban dari kebijakan pemerintah pusat.
            Dengan berlaku kecurang di sekolah yang dilakukan oleh siswa,  guru , kepala sekolah, saat pelaksanaan UN secara tidak langsung bahwa sekolah yang seharusnya sebagai lembaga pendidikan, justru telah mengajarkan pada siswanya menjadi seorang pembohong dan korupsi, yang dengan tidak seganya melakukan  segala cara untuk mencapai tujuan. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, maka akan terbentuk suatu generasi muda  Indonesia  yang dipenuhi dengan manusia-manusia pembohong, korup dan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Kebijaksanaan UN dalam  pendidikan harus segera direvisi secepatnya jika tidak ingin mental generasi penerus rusak akibat UN dan bertentangan dengan pembelajaran berkarakter yang dikoar-koarkan sekarang. Pemerintah harus membenahi kembali UN yang dilakukan.
Meningkatkan mutu pendidikan tidak bisa melalui UN, tetapi harus dengan langkah-langkah sebagai berikut : Pertama, kita harus memahami essensi pendidikan. Belajar bukan sekedar menyiapkan diri menghadapi ujian, tetapi bagaimana mengembangkan kemampuan diri menghadapi kehidupan. Kedua, dibutuhkan komitmen pemerintah dalam mengelola pendidikan.implikasinya, membebaskan pendidikan dari kungkungan elite politik yang hendak memanfaatkan pendidikan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, dan yang menjadikan UN sebagai proyek untuk memperkaya diri. Ketiga, memaksimalkan partisipasi pelaku pendidikan dalam menghasilkan peraturan dan kebijakan pendidikan. Tanpa peran mereka, tidak mungkin pendidikan dapat menghasilkan subyek atau aktor sosial sebagai kunci perubahan sosial. Sampai kapanpun, pendidikan hanya akan menjadi pemelihara status quo dalam masyarakat, perubahan sosial tidak mungkin terjadi secara signifikan, keadilan sosial yang menjadi cita-cita nasional pun tetap berada dalam dunia mimpi.
Dan tidak terlepas pula yang sudah dibahas di atas bahwa semuanya harus dikembalikan ke pribadi pemangku kepentingan, apakah mereka berniat untuk benar-benar berguna bagi negara atau sekedar mencari keuntungan ditengah kondisi pendidikan bangsa ini. Jika semua pemangku kepentingan memiliki rasa kejujuran dan keinginan untuk memajukan bangsa, tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan bisa bersifat tegas terhadap hal-hal yang dapat merugikan sistem pendidikan kita, niscaya pendidikan yang berkualitas akan dimiliki oleh bangsa ini. Mulai dari pejabat pusat dan sampai guru yang bersentuhan langsung dengan siswa, harus memiliki komitmen yang sama dalam memajukan pendidikan bangsa ini.
 
 
 DAFTAR PUSTAKA
Badan  Standar  Nasional  Pendidikan  (2005).  Prosedur  Operasi  Standar  (POS)  Ujian Nasional. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.
Departemen pendidikan dan kebudayaan,  Kamus Besar Bahasa Indonesia,           (Jakarta: balai pustaka, 1993)
Kompas.com/read/2012/11/26/09091819/Ujian.Nasional.Seharusnya.Hanya.untuk Pemetaan
Undang Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan. Yakarta : Rineka Cipta.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, tentang Standar Nasioanal
            Pendidikan. Jakarta:  Depdiknas.
http://sim.ormawa.uns.ac.id/2012/12/01/masalah-pendidikan-di-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar